Sunday 25 December 2011

Tak Kisah Kalau Dibuang

Menesuluri kisah Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis Indonesia ; membuatkan saya berkelana dalam pemikiran. Hanyut dalam arus muhasabah yang menghala ke arah pencarian diri.Pramoedya – dengar namanya sewaktu ke Palembang oleh teman-teman sepenulis. Pabila kami merayau ke Gramedia (toko buku), setiap seorang penulis akan mencari karya Pramoedya. Kecuali saya, yang melihat buku Pramoedya terlalu tebal dan mula membuat perhitungan berkenaan cara membawanya pulang ke Malaysia.

Siapa Pramoedya? Lebih enak jikalau saya lampirkan terus sumber penceritaan kisah hidupnya dari Wikipedia.
Pramoedya Ananta Toer (EYD: Pramudya Ananta Tur) (6 February 1925 – 30 April 2006) was an Indonesian author of novels, short stories, essays, polemic and histories of his homeland and its people. His works span the colonial period, Indonesia’s struggle for independence, its occupation by Japan during the Second World War, as well as the post-colonial authoritarian regimes of Sukarno and Suharto, and are infused with personal and national history. 
Pramoedya’s writings sometimes fell out of favor with the colonial and later the authoritarian native governments in power. Pramoedya faced censorship in Indonesia during the pre-reformation era despite the fact that he was well known outside Indonesia. During the changeover to the Suharto regime Pramoedya was caught up in the shifting tides of political change and power struggles in Indonesia. He was seen as a holdover from the previous regime (even though he had struggled with the former regime as well) and was banished for years to Buru islandwhere political prisoners were kept. It was there that he composed his most famous work, the Buru Quartet. Not permitted access to writing materials, he recited the story orally to other prisoners before it was written down and smuggled out. 
Sumber – http://en.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer
Oh ya, sebelum mengulas lanjut – apa maksud buang di sini? Bukanlah bermakna dilempar ke tepi seperti seekor binatang jalang. Buang lebih kepada apa sahaja yang mengundang duka dan nestapa. Sepertinya kegagalan bercinta, disisihkan masyarakat, dianggap sebagai pembawa tahyul dan sebagainya. Itulah maksudnya buang - sekurang-kurangnya dari pandangan seorang Shahkang.

Dibuang ke Pulau Buru – sampaikan terpaksa menyampaikan karya menggunakan mulut (oral) sebelum ditulis kemudiannya. Ada juga yang saya dengar, Pramoedya tidak dibenarkan mendekati langsung sebarang pen dan kertas untuk menukil karya.

Penulis tidak peduli. Sama ada dibuang atau dijunjung. Karena cinta pada sebaris aksara lebih mahsyur dari segala-galanya. Cinta pada selaras kata yang menjulang Yang Esa ternyata mengatasi apa jua cabaran. Cinta pada setiap siaran idea di akhbar mahupun majalah meletus, lebih dahsyat daripada pandangan seorang wanita. Biar ditinggalkan kekasih dan diperap jauh ke pojok belantara oleh sesiapa sekalipun – cinta itu kekal harum, menggamit nafsu sebagaimana narwastu syurga.

Syed Qutb juga menulis Tafsir Fil Zilal ketika di dalam penjara. Meski diperlakukan demikian namun masih – karya agung dapat dicipta dan digunakan sampai sekarang. Ternyata, ‘kebuangannya’ tidak mencantas sedikit pun cinta dan semangat untuk terus menitip kata di atas halaman putih. Seperti juga Syed Qutb yang punya kegagalan sendiri dalam cintanya dengan wanita – mana mungkin menghalang Tarsif Fil Zilal daripada terus dikarang!

Tidak percaya Syed Qutb juga pernah alami masalah ‘dibuang’? Saya cuba sertakan bersama tulisan mengenai Syed Qutb oleh Anis Matta:

Begitu Sayyid Quthub menyaksikan mimpinya hancur berkeping-keping, sembariberkata, “Apakah kehidupan memang tidak menyediakan gadis impianku, atauperkawinan pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisiku?” Setelah itu ia berlari meraihtakdirnya;dipenjara 15 tahun, menulis Fi Dzilalil Qur’an, dan mati di tiang gantungan!Sendiri! Hanya sendiri!

(Serial Cinta Tarbawi – Anis Matta)   
Sumber: http://www.scribd.com/doc/6692282/Kumpulan-Tulisan-Anis-Mata-Lc

Kadang kala teringat kata-kata Tun mahathir dalam satu videonya. “Nak buang saya buanglah. Saya tak kisah kena buang.”

Sebagai penulis, saya juga tidak kisah kalau dibuang. Asalkan kebenaran terus dipancang!

(Semoga saya dan kita semua dapat teguhkan diri dan menepis segala kebuangan/sampah sarap perasaan yang ada! Amin.)


Shahkang
Manchester, UK

No comments:

Post a Comment